MAKALAH HUKUM
KELEMBAGAAN NEGARA
“PERAN DAN OTORITAS DEWAN PERWAKILAN DAERAH
(DPD) DALAM PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA”
Disusun
oleh:
Lizy M. Butarbutar E0010212
Pemenuhan Tugas
Mata Kuliah :
Hukum Kelembagaan Negara
Kelas :
C
Dosen Pengampu :
Sugeng Praptono, S.H.,M.H
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2010/2011
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
DPD adalah sebuah lembaga
perwakilan seperti halnya DPR yang mewakili masyarakat pada wilayah tertentu.
Seluruh anggota MPR yang sekarang adalah hasil Pemilu. DPD merupakan alternatif
baru bagi bentuk “utusan daerah” di MPR, yang lebih merepresentasikan
kepentingan daerah. Bila pada MPR sistem yang lama anggota utusan daerah
merupakan hasil pemilihan eksklusif anggota DPRD Propinsi, maka anggota DPD
dipilih melalui Pemilu melalui sistem distrik berwakil banyak. Dalam sistem
ini, masyarakat langsung memilih nama kandidat, yang memang disyaratkan untuk
independen (bukan pengurus Partai Politik).
Diharapkan dengan adanya
“utusan daerah” model baru yang diwujudkan dalam lembaga DPD dengan sistem
rekruitmen yang merupakan hasil pilihan rakyat melalui pemilu ini, dapat
menjadi jembatan bagi aspirasi masyarakat daerah dalam pembuatan kebijakan pada
tingkat nasional dan Anggota DPD dari setiap Propinsi ditetapkan sebanyak 4
(empat) orang. Jumlah anggota DPD tidak lebih dari 1/3 (sepertiga) jumlah
anggota DPR.
B. Identifikasi Masalah
Adapun pokok masalah atau
permasalahan yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah:
- Apa yang
dimaksud dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)?
- Bagaimana
mekanisme pemilihan Anggota DPD?
- Apa saja peran dan otoritas DPD
Dalam Pemerintahan Daerah?
- Peran dan Prospek DPD ke Depan ?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan permasalahan
yang ada, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memaparkan
tentang otoritas dan peran DPD serta hubungannya dengan pemerintah daerah juga
sebagai pemenuhan tugas untuk nilai UKD III Mata kuliah kelembagaan negara.
BAB II PEMBAHASAN
A. Sekilas Mengenai Dewan Perwakilan
Daerah (DPD)
Setelah perubahan UUD 1945
lahirlah Dewan Perwakilan Daerah RI sebagai lembaga baru, yang cikal bakal
pembentukannya berasal dari fraksi utusan daerah yang dianggap tidak cukup
mampu untuk menyuarakan kepentingan daerah dalam proses perumusan kebijakan
nasional, sebab Fraksi utusan daerah tidak ikut serta dalam pembuatan keputusan
politik nasional dalam tataran undang - undang. Keberadaan Fraksi utusan daerah
dianggap hanya mewakili dalam gagasan ( representation in ideas),
maka diperlukan sebuah lembaga yang tidak saja mewakili dalam gagasan namun
juga mewakili dalam bentuk kehadiran orang daerah ( representation in
present ).
Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) merupakan amanat amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22C dan
22D pada Agustus 2002. Secara garis besar, struktur ketatanegaraan yang diatur
dalam UUD tersebut mengatur tiga lembaga utama dalam organ legislatif
Indonesia, yaitu MPR, DPR dan DPD. Selain mengenai struktur ketatanegaraan, ada
beberapa perubahan di bidang politik lainnya yang kemudian diturunkan dalam
paket Undang-undang politik yang terbaru, yaitu
- Undang
Undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
- Undang Undang No. 12
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
- Undang Undang No. 22
Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD
- Undang
Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Implikasi dari perubahan
susunan ketatanegaraan tersebut berpengaruh terhadap hubungan antar organ-organ
tersebut. MPR bukan lagi Lembaga Tertinggi Negara. DPR, BPK, MA dan Presiden
tidak lagi mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada MPR. Perubahan
penting lainnya yang juga diperintahkan konstitusi, MPR nantinya bukan lagi
Lembaga Tertinggi yang berada di atas DPR, Presiden, MA dan lembaga-lembaga
negara lainnya. MPR nantinya adalah lembaga yang sejajar dengan yang lainnya
sehingga diharapkan mekanisme checks and balances akan bekerja lebih baik.
Struktur MPR yang
sebelumnya terdiri dari anggota DPR, utusan daerah dan utusan golongan, kini
berubah wujud menjadi suatu lembaga yang terdiri dari anggota DPR dan anggota
DPD. Utusan daerah dihapuskan dan diganti dalam bentuk DPD, sebuah “kamar
kedua” yang dianggap lebih merepresentasikan “utusan daerah”. Sementara Utusan
Golongan yang keanggotaannya didapat melalui penunjukkan dari tiap golongan,
ditiadakan karena representasinya yang tidak jelas dan dianggap sudah terwakili
melalui Partai Politik (Parpol). Dalam sistem ketatanegaraan yang baru ini, MPR
adalah forum antara DPR dan DPD dengan kewenangan terbatas, diantaranya:
mengubah dan menetapkan UUD, melantik presiden dan wakil presiden yang telah
terpilih (dalam pemilihan presiden langsung oleh rakyat), serta memilih
presiden dan atau wakil presiden bila salah satu atau keduanya berhalangan.
Perubahan struktur ini
dalam rangka mengimplementasikan sistem perwakilan dua kamar (bicameral system)
dengan adanya DPR dan DPD. Namun demikian, ada kritik terhadap sistem baru ini
dilihat dari kacamata hukum tata negara. Untuk melihat kritik PSHK terhadap
sistem yang baru ini silakan klik [insert link utk ke kajian susduk
PSHK.
Ada beberapa dasar
pertimbangan pembentukan DPD dilihat dari dua perspektif, Antara lain
1. Teoritis
·
Membangun mekanisme kontrol
( check and balances ) dalam lembaga legislatif itu sendiri,
disamping antarcabang kekuasaan negara ( eksekutif, legislatif, yudikatif, )
·
Menjamin dan menampung
perwakilan daerah - daerah yang memadai untuk memperjuangkan aspirasi dan
kepentingan daerah dalam lembaga legislatif
2. Politis
·
Memperkuat ikatan daerah -
daerah dalam wadah NKRI
·
Meneguhkan persatuan
kebangsaan seluruh daerah – daerah
·
Meningkatkan agregasi dan
akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah - daerah dalam perumusan kebijakan
nasional
·
Mendorong percepatan
demokrasi, pembangunan, dan kemajuan daerah secara berkeadilan dan
berkesinambungan
DPD dan DPR
Kedudukan dan wewenang DPR
masih sebagai lembaga lembaga perwakilan rakyat yang memegang fungsi legislasi,
fungsi penyusunan anggaran serta fungsi pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang dan penyelenggaraan pemerintahan negara. Di tingkat daerah,
terdapat DPRD tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota, yang melaksanakan fungsi
yang sama atas pelaksanaan peraturan daerah dan penyelenggaraan pemerintahan
daerah Propinsi.
DPD adalah sebuah lembaga
perwakilan seperti halnya DPR yang mewakili masyarakat pada wilayah tertentu.
Seluruh anggota MPR yang sekarang adalah hasil Pemilu. DPD merupakan alternatif
baru bagi bentuk “utusan daerah” di MPR, yang lebih merepresentasikan
kepentingan daerah. Bila pada MPR sistem yang lama anggota utusan daerah
merupakan hasil pemilihan eksklusif anggota DPRD Propinsi, maka anggota DPD
dipilih melalui Pemilu melalui sistem distrik berwakil banyak. Dalam sistem
ini, masyarakat langsung memilih nama kandidat, yang memang disyaratkan untuk
independen (bukan pengurus Partai Politik). Diharapkan dengan adanya “utusan
daerah” model baru yang diwujudkan dalam lembaga DPD dengan sistem rekruitmen
yang merupakan hasil pilihan rakyat melalui pemilu ini, dapat menjadi jembatan
bagi aspirasi masyarakat daerah dalam pembuatan kebijakan pada tingkat
nasional.
Anggota DPD dari setiap
Propinsi ditetapkan sebanyak 4 (empat) orang. Jumlah anggota DPD tidak lebih
dari 1/3 (sepertiga) jumlah anggota DPR (sesuai Pasal 22C ayat (2) UUD).
2. Mekanisme Pemilihan Anggota DPD
Basis Pemilihan, secara
individual (bukan dari Parpol seperti anggota DPR dan DPRD).Beberapa Syarat
Khusus untuk Calon Anggota DPD: (Pasal 63 UU Pemilu).Berdomisili di yang
bersangkutan minimal 3 tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut
sejak usia 17 tahun, Tidak menjadi pengurus Parpol minimal 4 tahun sebelum
tanggal pengajuan (ada ketentuan peralihan untuk Pemilu 2004 minimal 3 bulan).
Untuk dapat menjadi calon
anggota DPD, harus memperoleh dukungan. Dukungan tersebut harus tersebar di
sekurang-kurangnya 25% dari jumlah kabupaten/kota di Propinsi yang
bersangkutan. Syarat dukungan tersebut adalah:
- Propinsi
yang berpenduduk sampai dengan satu juta orang harus didukung
sekurang-kurangnya oleh seribu orang pemilih.
- Propinsi
yang berpenduduk lebih dari satu juta sampai dengan lima juta orang harus
didukung sekurang-kurangnya oleh dua ribu orang pemilih.
- Propinsi
yang berpenduduk lebih dari lima juta sampai dengan sepuluh juta orang harus
didukung sekurang-kurangnya oleh tiga ribu orang pemilih.
- Propinsi
yang berpenduduk lebih dari sepuluh juta sampai dengan lima belas juta orang
harus didukung sekurang-kurangnya oleh empat ribu orang pemilih.
- Propinsi
yang berpenduduk lebih dari lima belas juta orang harus didukung
sekurang-kurangnya oleh lima ribu orang pemilih.
Wewenang DPD dalam Mengajukan dan Membahas
RUU
Cara
Mengajukan RUU ke DPR
RUU diajukan kepada DPR,
DPR yang akan mengundang DPD, dilakukan sebelum DPR membahas dengan
pemerintah.Ini berarti sebelum Pembahasan Tingkat I atau sama dengan pengusulan
dari pemerintah atau proses usul inisiatif DPR. RUU usul DPD dipersamakan
dengan RUU usul inisiatif DPR.
DPD menyampaikan Draft RUU,
DPR akan membahasnya bersama DPD. Setelah itu, DPR akan membahasnya bersama
pemerintah, DPD tidak lagi diikutsertakan. Melakukan
Riset untuk mengetahui persis pentingnya suatu RUU dan apa yang harus diatur di
dalamnya. Laporan riset disusun dalam sebuah naskah akademik, sehingga ada
argumentasi yang jelas. Dari segi praktis, akan mempermudah pembuatan “Daftar
Inventarisasi Masalah” (DIM) untuk pembahasan di DPR.
Menyusun draft RUU:
penyusunan kata-kata hukum, pengelompokan isu, penyesuaian dengan tata cara
pembentukan UU (UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan), penyesuaian
dengan peraturan-peraturan lainnya.
Dalam membahas RUU, DPD
akan diiutsertakan oleh DPR untuk membahasnya bila DPR atau Pemerintah
mengajukan RUU yang berkaitan dengan wilayah kerja DPD, yaitu:
- otonomi
daerah
- hubungan
pusat dan daerah
- pembentukan
dan pemekaran dan penggabungan daerah
- pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta; yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Pada saat DPR membahas RUU
APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, DPD memberi
pertimbangan kepada DPR, baik diminta ataupun tidak. Pertimbangan
diberikan dalam bentuk tertulis sebelum memasuki tahap pembahasan antara DPR
dan pemerintah (sebelum pembahasan tingkat I) Pertimbangan
DPD dianggap sebagai nasehat kepada DPR dari perspektif daerah. Untuk menjamin
agar pertimbangan ini benar-benar dipertimbangkan, perlu disampaikan dalam
bentuk tertulis sesuai Pasal 44 ayat (2) UU Susduk.
Seperti yang dikemukakan
tadi wewenang DPD dalam mengajukan Rancangan Undang-Undang yang semuanya itu
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber
daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah. DPR kemudian mengundang DPD untuk membahas RUU tersebut. Selain
itu DPD juga bisa Memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Memberikan pertimbangan kepada
DPR dalam pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan.
Melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
APBN, pajak, pendidikan, dan agama serta menerima hasil pemeriksaan keuangan
negara dari BPK untuk dijadikan bahan membuat pertimbangan bagi DPR tentang RUU
yang berkaitan dengan APBN.
3 . Otoritas
dan Peran DPD terhadap Pemerintahan Daerah
Meskipun DPD merupakan
lembaga baru dalam sistem parlemen di era reformasi, tetapi lembaga ini cukup
menarik perhatian. Daya tarik DPD karena karakteristiknya mewakili teritorial
daerah yang secara "sub - culture"berbeda-beda. Bahkan aspirasi dan
kepentingannyapun berbeda. Namun, secara fenomonologis perbedaan itu suatu
keragaman yang akan diangkat oleh DPD dalam posisinya sebagai kamar tersendiri
dalam perjuangan parlemen. Untuk memperjuangkan aspirasi daerah secara nasional
mungkin saja dilakukan oleh DPD. Hal ini disebabkan karena DPD memiliki
otoritas atau wewenang yang dilindungi dan ditentukan oleh konstitusi. Dalam
UUD 1945 DPD diatur dalam bab tersendiri, yaitu dalam Bab VII A. Dalam bab ini
hanya terdapat dua Pasal yang mengatur DPD antara lain :
1. Pasal
22C yang terdiri dari empat ayat
2. Pasal
22D yang terdiri dari empat ayat
Otoritas DPD ditentukan
dalam Pasal 22D. Berdasarkan Pasal 22 D ini oto otoritas DPD ini terdiri dari
tig hal :otoritas DPD terdiri dari tiga hal :
1. Mengajukan kepada DPR Rancangan
Undang-Undang.
2. Membahas Rancangan Undang-Undang yang
berkaitan dengan otonomi Daerah.
3. Melaksanakan pengawasan atas
pelaksanaan Undang-Undang.
Dalam hal pengajuan
Rancangan Undang-Undang, DPD dapat mengajukan kepada DPR Rancangan Undang-Undang
yang berkaitan dengan:
1. Otonomi daerah
2. Hubungan pusat dan
daerah
3. Pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah.
4. Pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi serta yang berkenaan dengan pembangunan keuangan pusat dan
daerah.
Segala sesuatu yang
berkaitan dengan pengajuan Rancangan Undang-Undang ini, merupakan otoritas DPD.
Lembaga ini merupakan salah satu lembaga negara yang memiliki otoritas
mengerjakan Rancangan Undang-Undang, selainDPR danPresiden. Pertimbangan
tertulis DPD salah satu otoritas lain yang sangat penting ketika membahas
Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara. Pasal 137 ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR menyebutkan:
"Terhadap Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, Pajak, Pendidikan dan Agama, DPR menerima dan
menindaklanjuti pertimbangan tertulis yang disampaikan oleh DPD, sebelum
memasuki tahap pembahasan antara DPR dengan Presiden". Dalam hal ini
pertimbangan DPD itu dapat dipandang sebagai bukti bahwa keberadaan DPD
tersebut adalah penting.
Pertimbangan tersebut
disampaikan secara tertulis melalui Pimpinan DPR paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak diterimanya surat dari Pimpinan DPR. Tetapi, apabila DPD belum
juga memberikan pertimbangannya, DPD dianggap tidak memberikan pertimbangan dan
pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undang dapat dilaksanakan7).
Peluang ini mestinya dimanfaatkan oleh DPD jika saatnya membahas Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Kinerja dan kualitas Anggota DPD sangat
menentukan apakah peluang itu digunakan dan dimanfaatkan atau tidak. Oleh
karena itu pada tataran pembahasan Rancangan Undang-Undang keterlibatan DPD
sangat penting. Selain dalam konteks APBN, masih terdapat beberapa kewenangan
DPD untuk melakukan pembahasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22D ayat (2)
UUD 1945 yang sama objeknya dengan hak mengajukan Rancangan Undang-Undang).
Selain, memberikan
pertimbangan tentang RAPBN, juga yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan
agama. Jadi, otoritas DPD sebenarnya tidak terbatas pada soal otonomi daerah
saja. Spektrum otoritasnya lebih luas. Masalahnya adalah apakah DPD mampu
melaksanakan misinya sesuai otoritas atau kewenangan yang diberikan oleh
konstitusi dan hukum positif lainnya, inilah pertanggungjawaban moril dan
politik yang diemban oleh anggota DPD terhadap konstituennya.
Otoritas lainnya yang tak
kalah pentingnya adalah melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang9),
fungsi pengawasan DPD ditugaskan dalam Pasal 22D ayat (3). Selain menjalankan
fungsi legislatif secara terbatas, DPD juga memiliki fungsi pengawasan yang
juga terbatas pada hal-hal yang berkenaan dengan pelaksanaan undang-undang yang
mengatur kepentingan sebagaimana disebut dalam ayat ini. Dengan demikian, baik
dari segi fungsi legislatif maupun fungsi pengawasan, kedudukan DPD ini jelas
tidak setara dengan kedudukan DPR. Dengan perkataan lain, hal ini menegaskan
bahwa bikameralisme yang dianut oleh UUD kita adalah "soft
becameralism", bukan "strong becameralism"10).
Pembagian seperti ini tidak begitu penting jika DPD secara maksimal memainkan
perannya dalam melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang. Meskipun
orang menyebut dengan adanya DPD itu berarti telah menjadi "soft
becameralism", namun "role"dan "action"nya-lah yang
lebih urgen dan signifikan.
Pada dasarnya DPD juga memiliki
peran dalam melakukan pengawasan terdapap daerah sebagaimana dikatakan dalam
padal 22D UUD ayat 1 bahwa dewan perwakilan daerah dapat mengajukan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat rancangan Undang - undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah juga pada ayat 2 dan 3 yang mengatakan
bawa Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang
mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerha, pengelolaan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
anggaran pendapatan Dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta
menyampaikan hasil pengawasannya Itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti. Dewan Perwakilan Daerah
juga dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang – undang mengenai
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerha, pengelolaan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
anggaran pendapatan Dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta
menyampaikan hasil pengawasannya Itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti.
Meski DPD merupakan lembaga
baru tapi keberadaannya diakui oleh UUD 1945 yang telah diamandemen. Wacana
memasukkan DPD dalam konstitusi telah digagas sejak membicarakan Amandemen I
UUD 1945 pada Tahun 1999. Selanjutnya dalam Amandemen II Tahun 2000, Amandemen
III Tahun 2001 dan Amandemen IV Tahun 2002. Keberadaan DPD tersebut tetap
diakui dan resmi menjadi lembaga parlemen negara. DPD ini merupakan
representasi provinsi. Jumlah Anggota DPD setiap provinsi sama meskipun suatu
provinsi populasi penduduknya lebih besar dari provinsi yang lain. Jumlah
Anggota DPD hanya sepertiga jumlah anggota DPR
Dengan adanya DPD aspirasi daerah yang
mungkin berbeda-beda dapat diformulasikan
dalam bentuk kanalisasi yang lebih
sejajar kedudukannya dengan DPR terutama keberadaannya di MPR.
Pemantapan wacana
memasukkan DPD dalam konstitusi lebih tampak jelas keberadaannya setelah
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengadakan Sidang Tahunan pada Tahun 2001.
Fraksi-fraksi dalam MPR menyetujui DPD sebagai salah satu komponen Anggota MPR,
selain DPR. Pemantapan DPD dalam kontitusi semakin kuat ketika pada Tahun 2002
dilakukan Amandemen keempat sebagai penyempurnaan terhadap Amandemen ketiga.
Dengan adanya DPD dalam konstitusi berarti bertambah satu kamar lagi dalam
parlemen sehingga parlemen kita menjadi bikameral.
Dalam sistem Ketatanegaraan
Negara Republik Indonesia saat ini dianut sistem bikameral dalam kekuasaan
legislatifnya. Dalam perspektif Teori Trias Politika, kekuasaan legislatif
merupakan cermin kekuasaan rakyat. Kekuasaan rakyat itu diwakili oleh suatu
Lembaga yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum (Pemilu).
Hak-hak politik rakyat diimplementasikan secara demokratis melalui pemilu. Oleh
karena itu, pemilu merupakan jembatan yang menentukan apakah wakil-wakil rakyat
dalam lembaga legislatif terpilih sesuai keinginan rakyat atau tidak. Aspirasi
rakyat yang disalurkan melalui pemilu merupakan cara konstitusional untuk
menentukan keinginan rakyat itu. Wakil-wakil rakyat dalam sistem Undang-Undang
Dasar (UUD 1945), terletak pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPR ini
sekaligus menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pada masa Orde
Lama dan Orde Baru MPR ini merupakan Lembaga Tertinggi Negara yang tidak
memiliki tandingan kekuasaan (no rival authority). MPR masa lampau memiliki
komponen anggota yang terdiri dari Anggota DPR, Utusan Daerah, Utusan Golongan
dan Pengangkatan. Untuk Tingkat Pusat disebut DPR, DPRD Provinsi untuk Tingkat
Provinsi, DPRD Kabupaten untuk Tingkat Kabupaten. Di Amerika Serikat, Badan
Legislatif disebut dengan congress yang terdiri dari dua kamar, disebut
bicameral. Hal ini sama dengan Negara Inggris, Perancis dan Belanda.
Kamar-kamar tersebut adalah sebagai berikut “
a. Senate (senat)
b. House of Pepresentative (badan perwakilan).
b. House of Pepresentative (badan perwakilan).
Di negara Belanda disebut Staten Generaal,
juga berbentuk bicameral, yang masing-masing disebut dengan :
a. Earste Kamer. Dipilih oleh anggota-anggota Dewan Provinsi.
b. Tweede Kamer. Dipilih langsung oleh rakyat.
a. Earste Kamer. Dipilih oleh anggota-anggota Dewan Provinsi.
b. Tweede Kamer. Dipilih langsung oleh rakyat.
4. Peran dan Prospek DPD ke Depan
Melihat otoritas DPD yang
pada hakekatnya memuat dimensi kedaerahan dan nasional, sebenarnya peran DPD
itu penting sekali walaupun terbatas dan tidak bisa dikatakan kecil. Saya
kurang sependapat dengan pandangan Reni Dwi Purnomowati, yang mengemukakan
peran DPD terlalu kecil diberikan oleh konstitusi. Peran DPD tidak dapat
dipandang kecil. Legalitas DPD dalam konstitusi memberi corak makna yang besar
terhadap perannya sebagai lembaga negara. Tidak mungkin dengan peran yang kecil
suatu lembaga negara di tampung eksistensinya dalam konstitusi. Mungkin yang
lebih tepat dikatakan perannya adalah terbatas bukan kecil. Dengan peran yang
terbatas itu akan memiliki gaung dan manfaat yang besar jika peran anggota DPD
dapat dimaksimalkan. Fungsionalisasi DPD akan maksimal paling tidak harus
didukung oleh beberapa faktor:
a. Sumber daya manusia yang berkualitas.
b. Memiliki kepekaan dan "sense of belonging"terhadap konstituen dan rakyat.
c. Sarana dan prasarana yang memadai.
d. Mengerti hukum dan politik serta pengetahuan legal - drafting.
b. Memiliki kepekaan dan "sense of belonging"terhadap konstituen dan rakyat.
c. Sarana dan prasarana yang memadai.
d. Mengerti hukum dan politik serta pengetahuan legal - drafting.
Sekurang-kurangnya empat
faktor tersebut harus dimiliki oleh Anggota DPD jika peran mereka ingin
dimaksimalkan. Kalau tidak, penyakit yang sering melanda sebagian Anggota DPR
di masa lampau yang sering disebut sebagai "4D plus 1C"mudah-mudahan
tidak menjadi penyakit baru yang justeru tidak diperlukan di era reformasi
sekarang ini. Hal yang lebih parah lagi Ketua DPRD Kartosuro - Solo pada bulan
Agustus 2005 tertangkap basah sedang main judi di salah satu Hotel. Bagaimana
mungkin wakil rakyat mampu memperjuangkan aspirasi rakyat jika wakil rakyat itu
sendiri tidak memberi contoh yang baik terhadap masyarakat. Faktor
skill-capability dan morality seorang anggota parlemen tidak dapat diabaikan.
Wakil Rakyat adalah pionir perjuangan dan pembaharuan kepentingan dan nasib
rakyat ke depan. Menyongsong masa depan bangsa dan negara, DPR harus memberi
andil yang besar sesuai peran yang telah ditentukan oleh konstitusi.
Jika ada Anggota DPD tidak
mau dan tidak memiliki kemampuan bekerja mengemban aspirasi rakyat, maka yang
bersangkutan dapat diberhentikan. Dalam Pasal 88 ayat (2) Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD antara lain menyebutkan:
"Anggota DPD diberhentikan karena: a. tidak dapat melaksanakan tugas
secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota DPD". Pada
huruf c nya menyebutkan: "dinyatakan melanggar sumpah/janji kode etik DPD,
dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai Anggota DPD".
Jadi, kalau Anggota DPD
yang melakukan pengawasan terhadap pemerintah di suatu daerah sama sekali tidak
melaksanakan kewajibannya, maka hanya akan merugikan negara. Oleh karenanya,
peran yang nilainya "nihil"ada baiknya dilakukan pemberhentian
menurut prosedur yang berlaku. Maksud pandangan ini agar dapat dicapai peran
yang relatif maksimal dari DPD dan
dimasa yang akan datang.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian terdahulu dapatlah disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut:
- DPD memiliki otoritas yang terbatas sebagaimana
ditentukan oleh UUD 1945 (Amandemen Keempat). Otoritas DPD tercermin dalam
kewenangannya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22D ayat (1), (2) dan (3)
UUD 1945.
- Dimensi otoritas DPD memuat spektrum nasional dan
kedaerahan. Dalam hal pembahasan Rancangan Anggaran Pendapat dan Belanja
Negara (RAPBN) pertimbangan DPD diperlukan oleh DPR. Dalam hal ini
misalnya tampak dimensi nasionalnya. Sedangkan dalam hal mengajukan dan
membahas Rancangan Undang-Undang Otonomi Daerah, tampak dimensi
kedaerahannya.
- Peran DPD harus dimaksimalkan sesuai peran yang
telah digariskan oleh konstitusi. Peran tersebut paling tidak harus
didukung oleh beberapa faktor yaitu:
- Sumber
daya Anggota DPD yang berkualitas,
- Memiliki
kepekaan dan rasa tanggungjawab terhadap konstituennya,
- Harus
didukung sarana dan prasarana yang memadai,
- Mengerti
hukum, politik dan "legal drafting".
B. Saran
Bagi Anggota DPD di daerah
yang tidak fungsional dan tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya dapat
diajukan pemberhentiannya dan diganti dengan orang yang "capable" dan
mau memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat. Pemberhentian itu harus
dilakukan menurut prosedur yang berlaku. Langkah ini ditempuh untuk mencapai
peran maksimal DPD dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintahan di daerah
sebagai kamar perjuangan rakyat kini dan masa datang.
DAFTAR PUSTAKA
Ramly Hutabarat Peran DPD di masa yang akan datang
H.
Inu Kencana Syafiie, Filsafat
Pemerintahan Mencari Bentuk Good Governance yang Sebenarnya Secara Universal,
Jakarta, Penerbit PT. Perca
Undang-Undang Dasar 1945,
Jakarta: Restu Agung, Tahun 2003
Undang-Undang
RI Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Jakarta: BP. Cipta Jaya, Tahun 2003
terimakasih iya mbaaa, makalahnya sangat membantu :D
BalasHapus